Jumat, 14 Maret 2008

Kompensasi Jasa Pemanfaatan Air Antara Konservasi & Bisnis

KOMPENSASI JASA PEMANFAATAN AIR

ANTARA BISNIS VS KONSERVASI[1]

Avo Juhartono[2]

“Effective water governance is necessary to solve the water crisis. Water governance determines the roles and responsibilities of the different interests – public, civil and private - in water resource management and development. Resolving the challenges in this area is necessary if we are to achieve sustainable water resources development and management. If we are to secure access to water for all (thus complying with a recent UN human rights declaration), maintain vital ecosystems and produce economic development out of water management, effective water governance is essential. Governance looks at the balance of power and the balance of actions at different levels of authority. It translates into political systems, laws, regulations, institutions, financial mechanisms and civil society development and consumer rights – essentially the rules of the game. Usually improving governance means reform.”

(Water Global Partnership : Effective Water Governance – Learning from the Dialogues ,2003).

Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan sumber daya air oleh negara dimaksud, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air.

Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin. Hak guna air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut dengan hak guna pakai air, sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya, media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan pembantu produksi, disebut dengan hak guna usaha

Sumber mata air diwilayah TN Gunung Ciremai berjumlah 156 buah terdiri dari 147 buah mata air yang mengalir terus sepanjang tahun, 4 buah mata air mengalir selama 9 bulan dalam setahun, 3 buah mata air mengalir selama 6 bulan dalam setahun dan 2 buah mata air mengalir selama 3 bulan dalam setahun. Selain itu beberapa sumber air yang dapat digunakan untuk irigasi dan kegiatan pariwisata diantaranya adalah Waduk Darma , Darmaloka, Balong Cibulan, Balong Cigugur, Balong Dalam dan Telaga Remis.

Sampai saat ini terdapat kurang lebih 20 titik sumber mata air yang dimanpaatkan oleh industri dan PDAM seperti PT Indocement, Pertamina, PDAM Kota Cirebon, PDAM Kabupaten Cirebon, PDAM Kabupaten Kuningan dan bebrapa perusahaan Air Minum Dalam Kemasan.

Masalah yang dihadapi dalam manajemen pengelolaan sumber daya air adalah :

1. Tidak transparannya pemerintah kabupaten Kuningan dalam memanajemen pengelolaan sumber daya air khususnya dalam system dan mekanisme konvensasi jasa air, masyarakat tak pernah diberi akses secara terbuka bagaimana substansi MoU yang dibangun, berapa besar income yang didapat APBD dari sektor konvensasi jasa air dan digunakan untuk apa dan dimana saja dana yang didapat tersebut, sehingga masyarakat tidak tahu secara jelas dan tidak dapat merasakan secara langsung manfaat dari eksploitasi sumber daya air di daerahnya.

2. Dana kompensasi pemanfaatan air, masalah utama yang berkaitan dengan dana kompensasi air ini adalah tidak jelasnya standar, indicator, criteria, system dan mekanisme pemungutan dan distribusi pengalokasian dana kompensasi pemanfaatan dari daerah/pihak pengguna air yang berasal dari kawasan Gunung Ciremai. Hal ini menimbulkan konflik vertikal (masyarakat dan pemda) serta konflik horisontal (antar desa dan antar pemda).

3. Lemahnya komitmen pemerintah (atau dengan sengaja melemahkan diri) terhadap eksploitasi sumber daya air. Inisiatif Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan mendekalrasikan diri sebagai kabupaten konservasi yang belum ada tindak lanjut dalam pengimplementasianya sesuai dengan prinsip dan standarserta criteria kabupaten konservasi, pembuatan perda no 13 tahun 2007 tentang konservasi air belum ditindak lanjuti dengan peraturan bupatinya padahal ada 14 point yang harus dibuat perbupnya.

4. Tidak dilibatkanya para pihak diluar pemerintah dalam rangka membangun komitment kompensasi jasa air dan masayarakat teramat sangat sulit untuk mengetahui secara detail isi dari MoU kompensasi air padahal masyarakat dijamin UU untuk tahu semua hal tentang pengelolaan sumber daya air.

5. Tidak jelasnya program atau kegiatan Konservasi Sumber Daya Air yang dilakukan para pihak, padahal sebagian besar daerah tangkapan air (catchmen area) dikawasan TNGC dalam keadaan rusak (miskin tegakan pohon, dijadikan lahan budidaya pertanian) dan daerah sekitar mata air yang dimanfaatkan pihak lain masyarakatnya juga kadang kekurangan air baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pertanian.

6. Kepentingan Bisnis yang diutamakan, hal ini dapat dilihat dengan dilibatkannya PDAM sebagai Badan Usaha yang diberi kewenangan untuk melakukan negoisasi nilai kompensasi dan besarnya debit air yang bisa diambil pihak lain, padahal PDAM hanyalah sebagai operator atau memang sumber mata air yang ada di Paniis, Talageremis adalah milik (Investasi) PDAM. Dan sampai saat inipun nyaris tidak terdengar PDAM Kuningan melakukan kegiatan Konservasi Kawasan dari Mata Air yang diambil airnya.

Untuk melakukan tata kelola air yang kelak tidak berujung pada krisis dan konplik atau bencana, diperlukan keterlibatan banyak pihak dan harus diterjemahkan ke dalam sistem politik, hukum, regulasi, institusi, mekanisme keuangan dan pengembangan komunitas. Dengan cara demikian, maka keberlanjutan ketersediaan air dapat dijamin.

Ketersediaan air akan berujung pada krisis jika ; tak ada jaminan pasokan air yang selama ini disediakan dari kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai ; regulasi untuk konservasi air tak didukung regulasi tata ruang yang ada hubungannya dengan penyediaan air lestari; tak jelasnya alokasi dana konservasi air;

Dalam rangka mengatasi berbagai konplik dan polemik kepentingan pemanfaatan sumber air di wilayah III Cirebon khususnya antara Pemerintah Kabupeten Kuningan dengan Pihak pemanfaat seperti kabupaten & Kota Cirebon, Indocement, pertamina, Pelabuhan, pertanian, perkebunan dan lain-lain dipandang sangat perlu adanya pendekatan inovatif di tengah sejumlah kompleksnya permasalahan dan konplik pengelolaan Sumber Daya Air diwilyah III Cirebon khususnya yang bersumber dari kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Pendekatan inovatif yang memungkinkan untuk dikembangkan bersama khususnya oleh Kabupaten Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi adalah Skema Pembayaran Jasa Lingkungan untuk membantu mewujudkan pelestarian alam yang berkelanjutan dan bersikap adil terhadap masyarakat lokal.

Skema Pembayaran Jasa Lingkungan ini merupakan skema legal baik yang berbentuk perbup atau Perda sebagai payung hukum yang akan mengikat dan mengatur mekanisme kompensasi jasa lingkungan itu sendiri sehingga program pelestarian alam di kawasan hutan Gunung Ciremai akan memberikan manfaat langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat local.

Adanya Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di Kabupaten Kuningan menjadi salah satu bukti dan indikator bahwa Kabupaten Kuningan sangat serius dalam mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi, sehingga Kuningan sebagai salah satu model Kabupaten Konservasi tidak sebatas jargon dan life service semata.

Aspek penting dari Skema Pembayaran Jasa Lingkungan tersebut yakni :

1. Dana jasa lingkungan berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan industri yang memanfaatkan jasa lingkungan, seperti Pertamina, Indocement, Pelabuhan Cirebon, industri air mineral dan pariwisata alam.

2. Dibangunnya lembaga kolaborasi multi-pihak yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, BUMD, Dunia Usaha/swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perwakilan masyarakat yang berperan sebagai Kontrol, Mediasi, Monitoring dan Evaluasinya.

3. Pendanaan konservasi sumber daya air berbasis multi-pihak mengatur bahwa 75 persen dana jasa lingkungan yang terkumpul akan dikembalikan ke alam untuk mendukung kegiatan konservasi, rehabilitasi dan penguatan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar hutan dan sekitar sumber mata air, sedangkan 25 persen dialokasikan bagi pembangunan apapun yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

4. Mekanisme insentif bagi masyarakat di hulu Gunung Ciremai yang dikembangkan harus menciptakan suatu bentuk tanggung jawab bersama dalam pengelolaan sumber daya alam secara imbang dan adil.

Kita semua berharap dan harus berbuat agar bayang-bayang banjir, kekeringan, kelaparan, saling bunuh karena berebut air akibat pengelolaan sumber daya air secara keliru tidak menjadi hantu dalam tidur anak cucu kita. Gemiriciknya air jernih yang mengalir jangan sampai hanya menjadi cerita anak cucu kita tanpa mereka pernah merasakan dan melihatnya.



[1] Sebuah repleksi dalam Peringatan Hari Air Sedunia, tanggal22 Maret 2008

[2] Aktivis Lingkungan tinggal di Kuningan & Pengurus LSM AKAR