Jumat, 02 Mei 2008

Dont Cry Ciremai

Dusun Palutungan Desa Cisantana kecamatan Cigugur merupakan sebuah perkampungan yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC.
Saat langkah kaki menginjak perbatasan kawasan TNGC yang ditandai dengan sekelompok pohon Pinus sisa-sisa hutan produksi Perum Perhutani, disela sela deru knalpot motor yang mengangkut hasil panen tanaman Wortel, sayup terdengar suara lirih: Naha aya keneh nu ngamumule leuweung kuring teh? Suara siapa gerangan? Rasa keingintahuan kami telah mendorong kaki ini untuk melangkah lebih jauh. Oh...apa yang terlihat disana? Pesona alam Ciremai yang selalu kita banggakan kah?
Memasuki kelompok pohon Pinus yang telah mengering, tunggul, batang Pinus yang berserakan, terhampar kebun sayuran (wortel, bawang daun) yang subur, sementara disisi lain para petani sibuk menggarap lahan, dengan tidak lupa meyapa kami dengan ramahnya.... Kami tertegun sejenak , tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami dan kami hanya mampu untuk saling menatap, Dimanakah kami ? Di kebun sayuran kah ?
Avo duduk diatas tunggul pinus, sementara asap rokok terus mengepul di sela-sela bibirnya, Tessa berjalan berkeliling sambil terus bertanya dengan bahasa yang sulit kami mengerti... Berderailah tawa kami mentertawakan kebodohan kami berkomunikasi.
Saya mecoba merangkum pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir kami :
Mengapa sejak ditetapkan kawasan hutan G.Ciremai menjadi Taman Nasional kerusakan hutan semakin meluas ?
Apakah Petugas BTNGC belum tahu kondisi TNGC akhir-akhir ini ?
Apakah setelah ditinggalkan Perhutani, masyarakat sekitar hutan menganggap hutan G. Ciremai tidak bertuan?
Program dan kegiatan apa saja yang telah, sedang dan akan dilaksanakan BTNGC selama ini, selain Gerhan?
Tak terasa kabut tebal telah menyelimuti kami, dinginnya menusuk tulang.... saat itu kami putuskan untuk pulang.
Di persimpangan jalur pendakian, kami bertemu 2 (dua) orang petugas Balai TNGC. Di sebuah warung yang menyediakan makanan ringan bagi pendaki gunung, sambil menghirup kopi panas, kami bersama kedua petugas tersebut menyempatkan untuk berbincang... Avo dan Tessa asyik berdiskusi dengan kedua petugas tersebut disertai pemilik warung (dari pembicaraannya diduga penggarap kebun sayur), Sementara saya lagi-lagi hanya bisa diam, mendengarkan jawaban/alasan yang merupakan copy paste dari hampir semua petugas BTNGC yang pernah kami temui :
Rencana Pengelolaan TNGC belum disyahkan Menteri Kehutanan.
Tata batas kawasan belum dilaksanakan.
SDM dan fasilitas lainnya belum memadai.
Jadi belum bisa berbuat apa-apa !!! Mungkin itu kesimpulan jawabannya.
Kembali saya mengingat masa lalu, ditetapkannya kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional dimaksudkan bahwa dengan sistem pengelolaan Taman Nasional diharapkan mampu untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari. Namun dibalik itu semua telah disadari pula bahwa ditetapkannya suatu kawasan menjadi kawasan konservasi akan menimbulkan polemik berupa konflik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan, yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat desa sekitar hutan, dalam bentuk persaingan antara kepentingan sosial ekonomi masyarakat dengan kepentingan konservasi.
Kenyataannya di dusun Palutungan, konflik seperti ini tidak terjadi, malahan sebaliknya masyarakat semakin memperluas kebun sayurnya !!! Apa kolaborasinya telah berjalan baik atau apakah ada hal lain... ???
Kenapa mesti heran !!! Kabupaten Kuningan dalam sejarah kehutanan selalu terdepan, terbukti: penerapan sistem PHBM yang pertama di Indonesia, kerjasama Pemda dengan Balai TNGC, baru satu-satunya di Indonesia, demikian pula halnya ekstensifikasi tanaman sayuran di kawasan konservasi, mungkin baru satu-satunya yang diperbolehkan di Indonesia.
Matahari telah beranjak ke balik puncak Ciremai, kami bertiga pamit.... Kembali sayup terdengar suara lirih: Naha aya keneh nu ngamumule leuweung kuring teh? Saya sempatkan untuk berpaling ke arah puncak Ciremai dan hanya hati kecil yang bisa bicara : Don’t cry Ciremai, pastikan kami kembali.


KUNINGAN, 9 APRIL 2008